Neo-Pancasila




Cuma Share aja dari Blog sebelah

Tiba-tiba banyak orang merasa kehilangan Pancasila. Di beberapa daerah mahasiswa melakukan unjuk rasa memperingati hari Pancasila. Di ibu kota, presiden dan para mantan presiden menyampaikan pidato memperingati pidato politik Bung Karno 1 Juni 1945 yang ditasbihkan sebagai hari lahir Pancasila.
Presiden SBY menyampaikan bahwa kita harus menyudahi perdebatan tentang Pancasila sebagai dasar negara, karena hal itu sudah final. Dikatakan pula bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah melakukan revitalisasi Pancasila dalam segala aspek kehidupan. Mantan Presiden BJ Habibie menyampaikan perlunya reaktualisasi nilai-nilai Pancasila. Sedangkan mantan Presiden Megawati Soekarno Putri menghendaki Pancasila bukan saja menjadi bintang penunjuk, tetapi harus menjadi kenyataan yang membumi. Semuanya rindu Pancasila.

Pancasila yang bagaimana yang dirindukan? Bukankah Pancasila itu sudah sering digunakan oleh berbagai rezim sebelumnya dengan berbagai cara dan tujuan yang justru tidak berkesesuaian dengan nilai-nilai di dalam Pancasila itu sendiri.
Kita tidak boleh lupa bahwa Pancasila yang digali oleh Bung Karno ‘dikuburnya’ sendiri melalui Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Penyelamatan Pancasila oleh Soeharto telah menjadi dalih untuk memberangus satu aliran politik, membunuh ratusan ribu anak bangsa dan menjadi inspirasi indoktrinasi menopang otoritarianisme.
Praktik-praktik itu menghadirkan tantangan bagi kita hari ini dan akan datang. Apakah benar saat ini yang dibutuhkan adalah reaktualisasi Pancasila versi Habibie maupun revitalisasi Pancasila a la SBY. Barangkali yang kita butuhkan bukanlah sesuatu yang ‘re’ (kembali) dalam wujud reaktualisasi maupun revitalisasi, tetapi sesuatu yang baru (new) dengan Pancasila.
Menafsirkan Pancasila
Menafsirkan Pancasila secara baru hendaknya tidak melulu mengkeramatkannya sebagai teks nilai-nilai (normatif) yang membutuhkan pengamalan.  Sebagai teks, Pancasila akan tetap berisi lima sila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan). Namun, sejak pertama kali dikumandangkan oleh Bung Karno, Pancasila bukanlah hendak dikeramatkan sebagai teks, ia ditujukan menjadi jawaban bagi zamannya. Maka, Pancasila baru harus ditafsirkan bukan samata-mata pada sila-silanya, melainkan pada apa tujuannya.
Meskipun pidato Pancasila Bung Karno 1 Juni 1945 diujarkan untuk menanggapi pertanyaan Radjiman Widiodiningrat tentang falsafah dasar bernegara (philosophische grondslag) Indonesia yang akan bentuk, Bung Karno merumuskan jawaban yang lebih luas dari sekedar menjawab pertanyaan Radjiman itu.
Melalui pidato bersejarahnya, Bung Karno menjadikan Pancasila sebagai jawaban ikonik bagi persatuan nasional dan sebagai pandangan hidup yang menegaskan posisi bangsa Indonesia di hadapan dunia luar. Pancasila sebagai pandangan hidup itulah yang oleh Bung Karno disebut sebagai weltanschauung bangsa Indonesia untuk menghadapi kolonialisme, liberalisme dan imperialisme. Begitulah soal-soal yang hendak dijawab dengan Pancasila pada masa itu.
Namun saat ini, ketika soal-soalnya tidak lagi persis sama dengan persoalan enam dekade lalu, maka Pancasila seharusnya dirumuskan pula sebagai konstruksi jawaban yang berbeda dan baru pula.
Untuk kepentingan nasional, Pancasila hendak dirumuskan sebagai jawaban atas persoalan kekinian berkaitan dengan kekerasan atas nama agama dan etnis, memberantas korupsi, mengatasi persoalan kemiskinan, menjawab modus-modus penghisapan baru terhadap rakyat, tanah dan perairan Indonesia.
Untuk konteks global, ketika ancaman kolonialisme, liberalisme dan imperialisme yang semula dilawan oleh Pancasila sudah bermutasi menjadi neo-kolonialisme, neo-liberalisme dan neo-imperialisme, maka Pancasila mestinya menjawabnya secara baru pula. Oleh karena itu yang dbutuhkan sekarang adalah Pancasila dengan semangatnya yang baru, suatu Neo-Pancasila.
Inspirasi
Meskipun sempat dikubur, digali dan dikubur lagi, Pancasila tetap menjadi inspirasi yang menghendaki kebaruan.Pancasila bukanlah teks kenangan melainkan alat perjuangan yang perlu terus dihidupi guna mencapai tujuan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, bermartabat secara budaya, berkeadilan sosial, dan berkelanjutan dalam pengelolaan lingkungan.
Menggapai tujuan itu merupakan tugas berat sebab kita harus memperjuangkan Indonesia yang berdaulat secara politik ketika para politisinya didominasi oleh para ‘pencuri’ (kleptomania) yang hidup dari ‘merampok’ negara. Tugas berat pula untuk berdikari dalam ekonomi ketika sumber daya alam Indonesia digadaikan penguasa kepada asing melalui kontrak dan beragam izin pemanfaatan sumber daya alam.
Bagaimana pula kita menciptakan Indonesia yang bermartabat secara budaya ketika jutaan warganya yang bekerja sebagai buruh di luar negeri masih banyak diperlakukan tidak manusiawi. Bagaimana pula menciptakan keadilan sosial tatkala  hukum memberikan keistimewaan kepada orang berpunya dan pada saat yang sama berlaku tajam kepada rakyat yang mengambil kakao dan pisang untuk mempertahankan hidupnya. Begitu pula dengan lingkungan yang dirusak oleh bulldozer dan tercemar akibat operasi perusahaan tambang dan kehutanan.
Dalam keadaan demikian itu, kepada siapakah Pancasila akan diperjuangkan? Pancasila kedepan tidak dapat diserahkan kepada pemerintah dan politisi yang menopang rezim hari ini. Sebagaimana dibenarkan oleh survey BPS yang disitir Presiden SBY dalam pidatonya, bahwa hanya 3% responden yang percaya bahwa elit politik (di dalamnya termasuk presiden) dapat melaksanakan sosialisasi dan edukasi Pancasila. Ekspektasi terbesar justru ada pada guru dan dosen (43%), tokoh masyarakat dan pemuka agama (28%) maupun badan khusus yang bisa dibentuk oleh pemerintah (20%).
Bukan saja untuk disosialisasi dan diedukasikan, Pancasila baru hendaknya digunakan sebagai alat perjuangan orang-orang kecil dan kelompok intelektual yang pro nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan serta anti terhadap neo-kolonialisme, neo-liberalisme dan neo-imperialisme.
Sumber klik disini

Related Posts:

0 Response to "Neo-Pancasila"

Posting Komentar

NO SARA & NO SPAM